Handian: Butuh Gerakan Bersama yang Didorong Pemkab Bogor
Cibinong | Jurnal Bogor
Guna memberantas buta aksara membaca Al-Qur’an di Bumi Tegar Beriman dibutuhkan gerakan bersama yang didorong Pemkab Bogor, sehingga cakupannya yang selama ini sebatas pada program lembaga-lembaga tertentu, bisa semakin diperluas.
“Program-program pengajaran baca Al-Qur’an masih sebatas program dari lembaga-lembaga tertentu, dan belum menjadi gerakan bersama yang didorong oleh pemerintah, sehingga cakupannya masih relatif sempit,” ungkap Dosen Manajemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB, Handian Purwawangsa yang siap mendampingi Yanti, sapaan akrab Plt Bupati Bogor, Nurhayanti itu kepada Jurnal Bogor, Senin (16/2).
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta pada 2012, diperoleh data yang cukup mencengangkan, yakni 65 persen umat Islam belum bisa membaca Al-Qur’an alias buta aksara Al-Qur’an. Angka tersebut jauh lebih besar, jika dibandingkan dengan angka buta aksara, merujuk pada data Kabupaten Bogor 2012 bahwa hanya ada 4,73 persen penduduk Kabupaten Bogor usia 15-60 tahun belum bisa membaca/buta aksara. Sebagai kabupaten yang memiliki visi meningkatkan kesalehan sosial dan kesejahteraan masyarakat, lanjut Handian, program mengurangi angka buta aksara Al-Qur’an adalah sesuatu yang wajib dilakukan, selain tentu saja tetap melanjutkan program peningkatan melek aksara Latin.
“Banyak faktor yang menyebabkan jumlah umat muslim yang belum bisa memahami Al-Qur’an, seperti faktor kesibukan, malu, lingkungan dan sistem pengajarannya yang rumit. Untuk anak usia dini, ketidakmampuan membaca Al-Qur’an banyak dipengaruhi oleh kurikulum yang kurang menunjang, terbatasnya guru ngaji di desa, kesibukan orangtua serta faktor lingkungan,” paparnya.
Persepsi masyarakat juga cukup berpengaruh, kata Handian, di mana orangtua mau membayar mahal, misalnya untuk kursus Bahasa Inggris atau pelajaran umum lainnya, tapi keberatan jika anaknya harus membayar untuk belajar membaca Al-Qur’an.
“Pemberantasan buta baca Al-Qur’an hendaknya difokuskan pada anak usia sekola (SD sampai dengan SMU), karena pada usia tersebut relatif mudah dalam menerima pelajaran, dapat diintegrasikan dengan program sekolah dan pada umumnya belum banyak memiliki beban hidup seperti orang dewasa,” ujarnya.
Langkah strategik yang dapat dijalankan, menurut dia, di antaranya adalah melakukan inventarisasi anak usia sekolah, melakukan pemetaan, mengapa mereka belum dapat membaca Al-Qur’an, melibatkan universitas/perguruan tinggi/pesantren yang memiliki kompetensi, para guru ngaji di desa, serta lembaga-lembaga yang sudah terlebih dahulu memberikan pengajaran baca Al-Qur’an, dan membuat serta menjalankan program, sesuai dengan masukan berbagai pihak yang berkompenten sesuai dengan karakteristik anak yang belum dapat membaca Al-Qur’an. n M Ircham